Teringat, beberapa tahun yang lalu, di sebuah persekutuan seorang teman bersaksi di depan jemaat bahwa ia mendapat panggilan untuk menjadi hamba Tuhan. Ia sudah resign dari pekerjaannya dan lulus dalam ujian saringan masuk, sekolah teologi. Dalam kesaksian itu, terlihat ia menangis. Sambil terus menahan tangisan ia mengaku sudah lama mendapat panggilan, tapi terus menunda. Dia menyesal, telah menunda-nunda panggilan Tuhan. Ia menangis telah mengecewakan hati Tuhan yang telah begitu baik kepadanya.
Mendengarkan kesaksian dan tangisan itu, aku berkata dalam hati, “Ini hanya drama.” Aku duduk paling belakang di bangku jemaat.
“Tuhan itu begitu baik. Sungguh, Dia begitu baik,” katanya berulang-ulang dengan menundukkan kepala. Sesekali ia membuang muka, berusaha menahan tangis. Berusaha untuk bisa berbicara dengan kepala tegak menghadap jemaat. Tapi, ia terus menangis, “Tuhan itu baik.”
Aku hanya berpikir, “Iya, semua orang sudah tahu itu. Apa tujuannya dia berbicara seperti itu berulang-ulang? Tuhan yang baik itu sudah hafalan semua orang Kristen.” Rasanya ini menggelikan. Darimana dia bisa tahu ada panggilan Tuhan? Jangan-jangan dia hanya berkhayal? Jangan-jangan dia hanya mengarang semua cerita itu? Darimana dia bisa kenal Tuhan yang tidak terlihat itu? Ini menggelikan, kataku dalam hati
Lalu…
Aku menyadari siapa diriku yang sesungguhnya. Inilah diriku yang sesungguhnya, manusia skeptis yang terus saja mempertanyakan dan terus saja mempertanyakan, tanpa menghidupi apa makna bergaul dengan Tuhan.
Sungguh, aku sulit memahami ketika orang dengan gampangnya berkata, “Percaya ya percaya aja.” Apa maksudnya? Benarkah percaya itu urusan yang gampang? Ah, masaa… Bertahun-tahun aku begitu bergumul akan keberadaan Tuhan. Sungguh, ini bukan urusan yang gampang. Buatku, inilah yang paling penting dalam hidup. Bahkan lebih penting dari hidup itu sendiri. Apa maksudnya?
Teringat, sewaktu kecil aku suka sekali berlama-lama berdiri didepan cermin. Bukan narsis, karena aku tidak begitu peduli dengan penampilan. Yang kulakukan didepan cermin adalah bertanya, “Ini siapa?”
Aku ingat sekali, waktu itu hari jumat. Karena di masa SD, hari jumat adalah harinya berpakaian bebas. Aku mengenakan baju kemeja berwarna hijau. Sambil mengancingi kemeja itu aku memandang kearah cermin, rasanya begitu asing. Aku merasa asing dengan diriku sendiri.
Ada saatnya aku merasa tidak normal dimana anak-anak bermain dengan begitu bebas, aku malah lebih suka duduk-duduk melamun. Ada yang hilang, ada yang terasa begitu asing dalam kehidupan ini. Bahkan di masa itu aku sudah mulai berpikir, sebentar lagi akan lulus dari SD. Lalu masuk SMP, SMA, menua, dan meninggal. Apa artinya hidup ini? Apa guna bersusah-payah? Toh, kita semua akan mati kok. Di masa itu aku belum mengenal Nietzsche dengan nihilisme, tapi sering berpikir, apa tujuan hidup ini? Rasanya aku begitu kecil, berdiri di dunia yang begitu besar. Hanya setitik.
Lalu terdengar orangtuaku berteriak, “Oii Muell, ngapain kau?! Lama kali kau berpakaian, cepat itu!! Nanti terlambat ke sekolah.” Akupun cepat-cepat untuk berangkat ke sekolah. Memandangi awan putih yang berlayar kecil di langit yang biru. Dunia ini begitu luas. Bahkan aku lebih kecil dari pohon mangga, lebih kecil dari rumah buatan manusia. Apa artinya hidupku yang cuma setitik ini? Hari demi hari berlalu. Tahun pun berganti. Pertanyaan demi pertanyaan akhirnya kulupakan. Tidak ada artinya bertanya. Orang-orang menjalani kehidupan mereka. Mereka tertawa dan bersenang-senang menikmati hidup. Apalah arti pertanyaan anak kecil yang gelisah akan arti hidup.
Bodohnya, ketika aku yang masih kecil itu berpikir, “Toh, ntar mati juga kok,” aku tumbuh sebagai anak yang sangat pemalas. Buat apa capek-capek, kita semua akan mati, pikirku.
Mungkin orang yang membaca tulisan ini mulai ragu, “Masa sih anak sekecil itu mempertanyakan hidup?” Iya silahkan saja. Percaya, silahkan. Tidak percaya, juga silahkan.
Hidup ini apa? Pantaskah untuk diperjuangkan?
Ketika aku mulai mempertanyakan apa arti hidup, orang terus saja membicarakan satu sosok, yaitu Tuhan. Katanya, Tuhan itulah yang menciptakan manusia. Karena Dia, Sang Pencipta, segala sesuatu akan kembali kepada-Nya. Benarkah? Katanya, manusia diciptakan dari debu tanah. Kok terdengar seperti legenda, cerita dongeng anak-anak?
Waktu kecil opung (nenek) sering menceritakan kisah-kisah Alkitab. Jujur, aku sudah lupa akan cerita opung. Yang masih teringat, opung selalu berpesan, “Kau harus ke Gereja, sekolah minggu. Jangan pura-pura sakit biar bisa nonton Doraemon. Ingat Tuhan, jangan nakal! Kalau kau nakal, nanti masuk Neraka.”
Tuhan itu siapa? Tuhan itu apa?
Aku terus disuruh menghafal doa, Met Met Au On. Tidak tahu persis apa artinya. Hanya disuruh hafal dan diucapkan berulang-ulang untuk mengingat Tuhan. Pertanyaannya, Tuhan itu siapa? Kenapa aku harus mengingat Dia? Orang-orang beragama itu membingungkan. Mereka berdoa agar permintaan mereka dikabulkan. Yang menjadi Tuhan itu siapa? Kalau Dia itu Tuhan, kenapa bisa disuruh-suruh untuk mengabulkan permintaan manusia melalui doa? Katanya Tuhan itu Maha Kuasa, kok bisa-bisanya tunduk, disuruh mengabulkan permintaan? Apa bedanya Tuhan dengan jin Aladdin?
Kalau Tuhan bisa ditundukkan manusia, kenapa manusia harus tunduk kepada Tuhan? Ini membingungkan sekali.
Pertanyaan-pertanyaan ini yang membuat ibu Sondang Sitorus, guru Agama Kristen mengamuk, “Banyak kali pertanyaanmu! Diam ajalah, kau masih kecil. Jangan sok jagoan, menantang Tuhan. Percaya saja!” Loh, yang menantang Tuhan itu siapa? Aku bertanya, dia tidak bisa menjelaskan. Akhirnya dibungkan dengan kalimat, “Percaya ajalah!” Apanya yang percaya sajalah? Akhirnya aku menjalani hari demi hari dengan bermalas-malasan. Toh, nanti juga mati, pikirku.
Tuhan itu tidak jelas, entah Dia ada atau tidak. Pokoknya harus ke Gereja, karena kami disuruh ibu Sondang Sitorus untuk membuat catatan rangkuman khotbah yang harus ditanda tangani Pendeta. Di jaman itu kalau nilai Agama merah, aku bisa tinggal kelas. Iya, sudahlah. Lebih baik jadi anak penurut, sama seperti anak-anak lain.
Percaya itu bukan persoalan yang gampang. Ada begitu banyak lagu pop dengan syair yang terus berusaha untuk membujuk seseorang agar mereka percaya. Rasanya, kata percaya itu menjadi begitu rendah. Begitu sederhana. Sama seperti kata cinta yang terus diulang-ulang sehingga kata itu kehilangan makna.
“Aku mencintaimu, cintailah aku,” Begitulah syair yang sering kita dengar. Sering juga diucapkan, juga diobralkan menjadi murahan. Cinta itupun bukan hal yang sederhana. Bukan sekedar cinta tapi tidak menghidupi makna cinta yang sesungguhnya, bagaimana cinta itu penuh dengan perjuangan, juga air mata. Cinta yang diobralkan dalam lagu-lagu pop membuat kata cinta itu kehilangan makna.
“Aku mencintai, cintailah aku. Sungguh, aku ingin memilikimu. Aku milikmu,” inilah lagu cinta yang membingungkan. Apa maksudnya? Kita punya hak untuk mencintai seseorang, tapi kita tidak punya hak untuk memaksa seseorang mencintai kita. Tidak ada kewajiban untuk membalas cinta seseorang. Cinta itu bukan kewajiban, juga bukan sekedar perasaan.
Bagaimana dengan percaya?
Seorang pendeta pernah berkhotbah dengan sebuah kisah, “seseorang mengadakan pertunjukan dengan meniti tali, hanya seutas tali yang menyeberangi jurang. Sekali dia berhasil lalu ia mencoba sekali lagi, dan berhasil. Dia pun bertanya, ‘percayakah anda saya bisa meniti tali ini sekali lagi.’ Penonton menjawab, ‘Percaya!’ orang itupun berkata sekali lagi, ‘percayakah anda, saya sanggup menyeberangi jurang itu sekali lagi?’ Penonton bersorak lebih keras, ‘Iya, percaya!’ lalu dia pun bertanya, ‘Kalau begitu siapa yang mau saya gendong lalu kita menyeberangi jurang ini bersama? ’ Sekejap penonton yang tadinya bersorak-sorak langsung hening. Tidak ada satupun yang mau percaya untuk mau digendong menyeberangi jurang walau mereka percaya dia mampu meniti tali itu hingga keseberang.”
Inikah yang disebut percaya?
Tuhan itu tidak kelihatan, benarkah kita sungguh-sungguh bisa mempercayakan hidup ini kepada Pribadi yang Rupa-Nya pun kita tidak tahu?
Leave a comment