Langit terlihat begitu biru dengan deburan ombak yang menyisir tepian pantai, seakan mengundangku untuk segera meninggalkan dataran kering, menuju lautan. Merasakan angin, merasakan air, merasakan kebebasan. Lihatlah, ikan-ikan berenang dengan begitu bebas. Perahu berlayar kemana ia mau. Beranjaklah dari tempatmu, datanglah ketempatku, dimana kamu bisa bebas melakukan apa yang kamu mau.
Akupun meninggalkan tas dan alas kaki. Tanpa mengenakan sandal aku berdiri disana. Merasakan air, merasakan pasir yang turut mengikuti riak air. Tak jarang pasir itu berlabuh disela-sela jari.
Perlahan aku melangkah lebih dalam. Lebih dalam lagi lalu berenang tanpa peduli aku masih mengenakan celana jins yang cepat menyerap air yang akan memberatkan langkahku. Tanpa peduli aku masih mengenakan t-shirt. Tanpa peduli orang-orang sudah berteriak memanggil agar aku segera kembali ke daratan. Sudah terlalu jauh masuk ke lautan. Hanya dalam beberapa menit tubuhku hanyut. Hanyut ditelan laut. Hanyut ditelan kebebasan. Hanyut ditelan oleh nafsuku sendiri.
Meronta, ingin rasanya berontak. Apa daya, aku sudah tenggelam. Daratan tempat seharusnya aku berdiri sudah terlalu jauh untuk digapai. Deburan ombak terus membawaku ke tengah lautan. Sungguh, aku tidak tahu apa yang kucari. Kebebasan ini telah menghisap terlalu dalam menuju kehampaan.
“Ikuti kata hati,” kata orang.
Kataku, “Mengikuti kata hati hanya akan merusak hidupmu.”
Suatu malam aku duduk di sebuah coffee shop di seputar Denpasar. Tiba-tiba bahuku ditepuk dari belakang, disapa oleh seorang teman yang sudah lama tak ketemu. Tidak menyangka, kami akan bertemu disini. Sudah lama sekali kami tidak bertemu bahkan aku sudah hampir lupa namanya. Diapun duduk lalu kami berbincang. Berbasa-basi sejenak lalu dia mulai bercerita bahwa ia ingin menceraikan istrinya dimana ia sudah merasa hubungan mereka sudah semakin kering.
Kami tidak begitu saling kenal. Hanya bertemu di sebuah komunitas dan membicarakan banyak hal hanya karena kami memiliki kesamaan hobi. Tapi, berita ini cukup mengejutkanku, “Loh, ntar anakmu gimana?” tanyaku.
Aku teringat cerita seorang teman yang begitu membenci bapaknya yang telah meninggalkan ibunya demi seorang wanita yang lebih muda. Sikap bapaknya itu sudah menggoreskan luka yang begitu dalam sehingga ia sulit sekali berelasi dengan laki-laki. Ia terus beranggapan bahwa semua laki-laki itu sama. Hanya menjadikan wanita sebagai barang, sebagai objek pemuas seks. Sikap bapaknya itu membuat ia trauma untuk berelasi dengan laki-laki.
“Iya, ntar aku yang pegang anak, Sam. Mana bisa dia (istri) asuh anak,” katanya ringan. Aku diam. Mungkin gampang buatmu, tapi itu tidak akan gampang buat anakmu, kataku dalam hati.
Yang paling membuatku terkejut, dia dengan begitu ringan mengatakan bahwa ia sedang berpacaran dengan perempuan lain. “Kok bisa?” tanyaku spontan.
“Iya, bisalah. Kalau gak cocok iya gak cocok. Kita kan bisa mencari siapa saja yang sesuai dengan hati kita. Mana bisa dipaksakan kalau memang tidak cocok,” katanya cengar-cengir. “Aku berencana menikahinya (perempuan lain itu),” lanjutnya, “Daripada kami pacaran diam-diam, lebih baik menikah sebagai istri yang sah.” Mungkin karena ia merasa usahanya sedang berkembang dengan banyaknya customer, merasa sudah punya banyak uang, ia merasa bisa melakukan apa yang dia mau.
“Kita kan bukan hewan!” kataku kebingungan. Kok bisa-bisanya hanya mengikuti kata hati tanpa memikirkan dengan serius segala konsekuensi, dampak yang akan merusak banyak pihak.
Dia terus saja bisa membela dirinya, berargumentasi bahwa apa yang dilakukan itu benar. Dia berpikir dia sudah melakukan yang benar. Dia merasa benar, karena ia berpikir dia benar. “Iya, silahkan saja,” kataku, “Itu hidupmu. Aku tidak bisa terlalu campur dengan persoalan kehidupan pribadimu.” Lalu aku meninggalkan meja itu dan berpisah.
“Ikuti kata hati,” kata orang.
Kataku, “Mengikuti kata hati hanya akan merusak hidupmu.”
Leave a comment