• Home
  • About Me
  • Contact
  • Portfolio
  • Journal
  • Review

Rasanya sudah lama aku membiarkan kamera DSLR begitu saja diatas lemari sampai debu mulai terlihat di sekitar kamera.”Ah, cuaca hari ini lagi cerah. Hari yang baik untuk motret,” pikirku. Sepulang dari kantor, cepat-cepat aku mengambil kamera lalu segera pergi di taman kota.

Taman kota, spot yang selalu seru untuk dijadikan objek foto. Sejam aku berkeliling, jepret sana jepret sini, lalu duduk dipinggir jalan dengan secangkir kopi hitam. Menikmati hembusan angin yang menyapa ranting pohon dan dedaunan yang bernyanyi bersahutan setiap angin berlalu untuk menyapa. Setitik debu mendarat di pinggir mataku. Segera kuseka sambil menghirup aroma kopi yang menari di udara.

Kendaraan bermotor terus saja berlalu lalang menggiling aspal. Kemana mereka pergi, darimana mereka berasal, aku tidak tahu. Mungkin mereka juga bertanya, siapa laki-laki bercelana jins yang duduk dipinggir jalan. Mungkin mereka bertanya, mungkin juga tidak. Akupun tidak tahu.

Selagi aku mengunyah pisang goreng yang masih di mulut, seekor hewan berkaki empat dengan empat sayap, berekor tiga berhenti tepat di bawah kakiku. Dalam sekejap hewan itu lenyap dari pandangan lalu seorang pria tua berumur akhir 60-an duduk disebelahku, lalu menyapa, “Halo kawan!” Ia mendaratkan kata demi kata begitu pelan, seperti berbisik, “Lama tak bersua, kawan!” katanya lagi .

Sapaan itu membingungkanku, “Bapak siapa?” tanyaku.

“Mastema,” jawabnya singkat.

Setiap kata yang keluar dari mulutnya begitu pelan di tengah kebisingan kota, deru mesin, dan orang-orang yang berlalu lalang. Anehnya, telingaku bisa mendengar setiap kata itu dengan begitu jelas.

Mastema?” Aku mulai terganggu dengan kehadirannya, apalagi beliau duduk begitu dekat denganku, “Bapak siapa?” tanyaku lagi sambil menggeserkan badan untuk menjaga jarak dengan bapak yang tidak kukenal itu. Akupun meraba-raba setiap kantong pakaianku, “Oh, handphone dan dompetku masih aman.”

Bapak itu hanya tersenyum lalu melemparkan pandangan ke arah langit yang perlahan menjadi kusam. Kusam seiring dengan matahari yang mulai bergerak mundur dibalik awan yang terus bergerak pelan. Pria itu berkata, “Sudah lama sekali kita tidak bercakap-cakap. Rumahmu masih berdekatan dengan warung bu tanti? Apa kabar Bu Tanti? Beliau masih berjualan mi goreng?” Bapak itu terus saja berusaha membuka percakapan dengan pertanyaan-pertanyaan.

Darimana bapak itu tahu aku masih tinggal di kompleks yang sama dengan warung Bu Tanti? Aku pun mengingat-ingat nama Bu Tanti. Ah, sudah lama aku tidak makan di sana. Mungkin sudah setahun lebih aku tidak ke sana. Dulu, warung Bu Tanti adalah tempatku biasa makan. Disana aku bisa makan, lalu duduk berlama-lama disana, berbasa-basi sejenak lalu ngutang.

“Sudah lama sekali saya tidak ke sana, pak,” jawabku pelan.

Aku pun berpikir, “Apa mungkin aku bertemu dengan bapak ini disana?”

Warung bu tanti, tempatnya orang-orang duduk, minum kopi, makan goreng pisang dan mi instan. Bedanya dengan warung pada umumnya, mi goreng instan yang kita pesan akan digoreng lagi oleh Bu Tanti, lengkap dengan taburan bawang goreng dan irisan cabe rawit, bukan sekedar mi goreng instan.

Di warung itu tempat berkumpulnya orang yang seharian hanya duduk-duduk, kebanyakan pengangguran, preman, debt-collector, beberapa sopir dan tukang bangunan. Di situ tempat berkumpulnya orang-orang yang suka membanggakan dirinya sendiri. Obrolan tidak lepas dari kegiatan minum-minum alkohol, karaoke esek-esek, prostitusi dan perjudian. Walau demikian, aku sering menghabiskan waktu disana, menikmati sepiring mi goreng dengan segelas kopi, sambil mendengarkan obrolan-obrolan mereka yang sehariannya di jalanan. Setidaknya, aku sedikit tahu apa yang sedang terjadi di seputaran kompleks tempat aku tinggal.

“Darimana ia tahu? Apakah beliau juga tinggal di kompleks yang sama? Ah sudahlah,” pikirku.

Aku menjawab pendek, “Iya pak, saya masih tinggal di sana.”

“Bapak pernah makan di warung Bu Tanti? Kok bapak bisa tau warung Bu tanti? Tanyaku mencoba menyelidiki.

Sayangnya ia menjawab apa-apa, malah bertanya, “Masih rajin ke Gereja, dek?” Loh, sekarang dia memanggilku, dek. Lalu dia terus bertanya, “Masih bergereja di tempat yang sama?”

“Apa-apaan ini?” aku mulai jengkel. Rasanya mau marah tapi bapak itu terlihat begitu tua, aku merasa sungkan untuk menegur, “Iya,” jawabku malas

Lalu bapak itu tertawa ngejek, “Kamu masih suka nyanyi-nyanyi ya? Haha! Di jaman modern ini masih ada ya, orang yang kerjanya cuma nyanyi-nyayi trus berdoa. Padahal Tuhan itu gak jelas, entah Tuhan itu ada apa gak. Haha!”

“Gini dek,” kata Mastema, “Biasanya, orang yang kerjanya cuma berdoa, mereka itu pemalas. Mereka taunya cuma minta-minta tapi do nothing!” Bapak itu kemudian memperagakan dirinya seperti sedang berdoa dengan kepala menengadah ke langit, “Mereka berdoa lalu menunggu jawaban Tuhan. Pemalas!” Lalu bapak itu tertawa dengan keras.

Aku mulai panas mendengar ejekannya. Bisa saja aku membalas setiap ejekan itu dengan ejekan, tapi apa gunanya? Aku selalu berprinsip, jangan pernah melakukan apapun, berkata apapun kalau emosimu sedang labil. Akupun tetap diam, menunggu emosiku mereda, stabil.

Lalu bapak itu menggaruk-garukkan kepalanya, “Kok bisa ya orang-orang berdoa ke Tuhan yang gak jelas itu? Berdoa itu berarti kamu sedang ngomong ke teman imajnasi. Dia gak ada, tapi diada-adakan. Tuhan itu hasil ciptaan, imajinasi. Berdoa berarti kamu hanya sedang berimajinasi. Agama hanyalah ilusi.”

“Bapak ini kok cerewet sekali, ya?” pikirku. Kalau ibu-ibu cerewet sih wajar-wajar aja, ini bapak-bapak kok cerewet?”

Akupun mulai merasakan emosi mulai mereda lalu mulai berbicara, ”Gini pak, yang namanya menyembah, setiap manusia memiliki hasrat untuk menyembah. Ketika saya melihat gunung, laut, pantai, bukit-bukit, langit, awan, hati saya serasa meluap-luap untuk memuji, menyembah kebesaran dan keindahan objek yang saya sembah. Ketika saya bertemu dengan seorang wanita lalu timbul ketertarikan, tidak mungkin saya biasa-biasa saja. Saya akan terus memujinya. Terpesona dengan kecantikannya. Tidak mungkin, tidak.”

“Saya melihat, saya mendengar lalu saya menyembah apa yang saya sembah.”

“TUHAN adalah Pribadi, Pencipta segala sesuatu baik alam semesta maupun kehidupan di dalamnya. Kalau bapak bilang TUHAN itu gak ada, itu berarti bapak buta! Melihat tapi tidak melihat, mendengar tapi tidak mendengar. Realita itu apa? Apakah hanya sekedar realita yang dirasa oleh indra? Empirisme. Manusia juga memiliki rasio, juga akal budi. Manusia diberikan seperangkat alat untuk bisa melihat, sungguh-sungguh melihat.”

Selagi kami berbicara, seorang Ibu menyapa kami. Dia lah ibu pedagang dimana aku membeli kopi yang sekarang sedang aku minum. “Kopi pak? Tanyanya Ibu itu ramah.

Mastema menjawab, “Iya Bu. Dua kopi hitam. Oh, sekalian gorengannya 5000 ya, bu.”

Ibu segera membuatkan dua kopi hitam dengan wadah gelas plastik dan mengambilkan gorengan lalu segera pergi. Mastemu lanjut bertanya, “Kamu ingat, Machiavelli pernah mengatakan, Agama adalah cara pemerintah untuk bisa mengendalikan massa. Kita hanyalah korban media dan Pemerintah. Kita, masyarakat yang telah di cuci otak demi kepentingan segelintir orang. Dimana kebebasan yang selalu di gaung-gaungkan itu? Benarkah kebenaran itu ada? Benarkah manusia terlahir bebas?”

“Loh, bapak ini ngomong apa? Kenapa obrolan jadi loncat-loncat? Tadi bahas apa, sekarang bahas apa? Lagian, apa urusan saya Machiavelli ngomong apa? Machiavelli ngomong ini, Voltaire itu. Plato dengan Aristoteles aja berbeda pendapat. David Hume dan Immanuel Kant punya pendapat masing-masing, pak,” kataku jengkel.

“Berarti kamu tidak bisa menjawab. Berarti benar bahwa agama hanyalah buatan manusia untuk saling memperbudak!” Mastema cepat-cepat menyimpulkan.

“Bapak ini udah tua tapi kelakuan kayak anak-anak,” pikirku.

“Benarkah kamu sungguh-sungguh mengenal Tuhan? Atau jangan-jangan imanmu hanya iman yang buta,” si bapak terus saja menyerangku. Untungnya aku udah ngopi. Bisa-bisa aku naik darah kalau terus saja ditanya-tanya begini. Akupun menyeruput kopi hitam sambil memakan tahu isi punya si bapak. “Ah, emosiku mulai reda,” kataku dalam hati. Ingat, jangan pernah mengeluarkan kata-kata kalau emosimu sedang labil. Apapun situasinya, emosi harus bisa ditekan dengan rasio. Kalau tidak, kita akan menyesal disaat kita bertindak diluar kendali kita.

“Kalau saya percaya tanpa bisa membuktikan, itulah iman yang buta. Lagian, yang namanya pengetahuan, dasarnya keyakinan, pak. Ketika seseorang membangun pengetahuan, itu tidak akan lepas dari dasar keyakinannya. Credo et intelligam.” Kataku,

Mastema langsung berkata, “Kalau begitu, buktikan TUHAN itu ada!”

Aku sudah menduga, pasti ini respon si bapak tua. Gak sabaran sekali si bapak ini, akupun hanya membalas, “Buktikan TUHAN itu gak ada.”

“Mana?!” Si bapak tua menengadahkan tangannya, memperagakan seperti sedang berdoa, “Tuhan hanyalah ilusi. Agama itu di ciptaan oleh manusia. Mau-maunya kamu dibodoh-bodohi Pendeta! Pendeta tidak lebih dari sekumpulan orang yang bergantung dari uang persembahan. Mereka membuaimu dengan Utopia Sorga, biar kantong persembahan tetap terus penuh. Sekarang aku tanya, benarkah kalian orang-orang beragama orang yang bebas. Katanya, kalian akan bebas dari dosa. Dosa itu apa? Jangan menakuti-nakuti dengan istilah yang tidak perlu! Tidak ada yang namanya Sorga-Neraka, tidak namanya yang Dosa, tidak ada namanya kehidupan sesudah kematian.

“Agama hanyalah cara pemimpin agama yang dibayar oleh Pemerintah agar mereka bisa mengontrol massa.” Selesai ngomong bapak tua itu mukanya memerah.

Dalam hati aku tertawa, “Bapak ini kenapa ya? Aku santai-santai aja kok, kenapa dia ngamuk-ngamuk?” Aku hanya bertanya, “Oh ya, pak?”

“JELAS IYA, ANAK BODOH!!!” jawabnya dengan suara yang keras.

Aku hanya mengernyitkan dahiku, “Bapak ini kenapa ya? Udah tua kok kelakuannya kek gini? Sepertinya kehidupannya pahit. Biasanya orang yang suka ngamuk-ngamuk itu gak puas dengan hidupnya. Tapi, bukannya instrospeksi diri malah nyalahin orang lain. Kasihan sekali bapak ini. Ya sudahlah, kutanggapin saja omongannya. Tenang, emosiku tetap stabil.

“Bebas itu apa, pak?” Tanyaku.

Bapak itu diam saja. Sepertinya beliau kena sesak nafas. Dari tadi dada dan bahunya terlihat naik-turun.

Akupun lanjut, “Saya gak merokok. Lalu teman bilang, santailah merokok saja. Hidup bebas! Rokok, alkohol. free-sex, prostitusi. Sekarang saya tanya, yang bebas siapa? Tidak kedua-duanya pak. Saya terikat pada aturan, teman saya terikat pada rokok, alkohol dan nafsu seks yang liar. Dua-duanya terikat.”

“Yang namanya kebebasan mutlak itu tidak ada. Jangan ngawur! Bahkan TUHAN pun membatasi diri-Nya. DIA tidak berdusta, DIA setia, penuh kemurahan hati. TUHAN itu kudus. Jika TUHAN itu tidak kudus, dia bukan TUHAN.”

“Bahkan TUHAN tidak bisa semau-maunya. Kalau DIA melanggar hukum kasih dan setia, melanggar Keadilan. DIA bukan TUHAN. Bebas itu apa? Sebelum mengeluarkan sebuah pernyataan, pahami dulu konteksnya. Untung kita cuma ngobrol berdua. Coba saja didengar orang banyak, mereka bisa menertawakan omong-omongan yang ngawur itu pak.”

“TUHAN adalah Roh. Kalau TUHAN bisa dilihat, DIA bukan TUHAN. Bahkan Musa, semasa dia hidup, gak bisa ketemu muka dengan muka dengan TUHAN. Bapak bisa ukur, berapa tinggi langit itu? TUHAN, DIA lebih besar dari itu. TUHAN lebih besar dari segala yang ada.”

“Bagaimana bisa bapak bilang, TUHAN gak ada? Butuh iman yang sangat besar untuk meyakini TUHAN gak ada, pak.”

“Udah, gini aja deh pak. Kalau bapak tidak mempercayai TUHAN, silahkan. Saya tidak bisa memaksa. Tapi jangan paksa saya untuk meyakini keyakinan bapak.”

“Percayalah pak. Butuh iman yang sangat besar untuk meyakini bahwa TUHAN itu gak ada. Kalau TUHAN gak ada, kenapa bapak terus-menerus mempertanyakannya? Bukankah dengan mempertanyakannya, membuktikan TUHAN itu ada?” Akupun menyudahi perkataanku. Ternyata, ngomong itu bikin capek. Bikin haus juga.

“Cih!” Mastema meludah lalu melemparkan gelas plastik tempat kopi itu ke pinggir jalan. Ia pun pergi tanpa mengeluarkan kata-kata.

Mastema? Nama apa itu? Ini kali pertamanya aku mendengar nama, Mastema. Penasaran, aku searching nama itu melalui Google, lalu keluarlah kata Setan dari layar Smartphone. Mastema berati Setan.

Tags
Recent Comments
  • adelina says:
    November 8, 2018 at 12:37 pm

    Koq nga ada ilustrasi fotonya yach Muel, hehehehe…
    Kalimatnya indah dan dalam. Semangat terus yach buat menulis.

    Reply
    • Samuel Tampubolon says:
      November 9, 2018 at 10:03 pm

      Haha iya, lupa! Biasa aku sekalian posting ilustrasi ya kak. Terima kasih yaa kak Lina! 🙂

      Reply
  • Leave a comment

    Leave a Reply Cancel reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *