Seakan ingin mencurahkan kemuramannya, langit pun menitikkan air, tetes demi tetes air perlahan membasahi bumi. Lalu tumpahlah air itu dibawa angin yang berlalu.
Rumput bersorak, tanah yang kering pun riang gembira lalu pepohonan melambaikan rantingnya bila angin menyapanya. Sudah lama mereka menantikan air, sudah lama kerongkongan mereka kering… sudah lama aku menantikan kehadiranmu.
Kita bertemu disaat aku duduk diam dibawah bayangan pohon. Berlindung dari teriknya matahari. Kau disana, aku disini. Kau menyapaku, kau mengetuk pintuku.
Ku tertegun dengan keindahanmu. Hadirmu memukau ku.
Siapakah aku, engkau yang terlebih dahulu menyapaku? Siapakah aku, engkau yang menyebut namaku?
Engkau hadir dikala aku merasa begitu sepi. Begitu sepi hingga menyiksaku. Dalam penjara sepi yang mengeringkan tulangku, membekukan darahku… engkau hadir.
Jiwaku penuh dengan lubang. Terbelenggu oleh keakuanku yang dibalut oleh ego yang membusukkan dagingku.
Lalu engkau datang, seperti angin yang berhembus. Berhembus meneduhkan jiwa yang kering. Seperti air, engkau menyegarkan jiwa yang haus.
Engkaulah cahaya yang menyapa kesendirianku yang bersembunyi dibalik menara keakuanku. Walau bayanganku menari girang, hatiku berlubang. Engkaulah cahaya yang membukakan mataku bahwa hatiku berlubang. Lubang yang kusembunyikan dibalik bayangan.
Sudah lama aku menantikan engkau, sudah lama aku ingin meninggalkan aku. Lalu engkau hadir dihadapanku.
Recent Comments
Puisi nya keren.
Terima kasih ya kak Lina 🙂
Leave a comment